Prof.Dr.Tri Wiratno, M.A.
Prof Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D.
DEFINISI BAHASA
Bahasa adalah alat komunikasi yang tersusun
dalam bentuk satuan-satuan lingual, seperti kata, kelompok kata, klausa, dan
kalimat yang diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan. Ada banyak definisi
bahasa, dan definisi ini hanyalah salah satunya. Anda dapat membandingkan
definisi ini dengan definisi berikut: bahasa adalah sistem komunikasi manusia
yang diungkapkan melalui susunan suara atau ekspresi tertulis yang terstruktur
untuk membentuk unit yang lebih besar, seperti morfem, kata, dan kalimat, yang dijabarkan
sebagai: sistem komunikasi manusia yang memanfaatkan susunan terstruktur suara
(atau representasi tertulis) untuk membentuk unit yang lebih besar, misalnya
morfem, kata, kalimat" (Richards, Platt & Weber, 1985: 153).
Di dunia ini, ada ribuan bahasa, dan setiap bahasa memiliki sistemnya sendiri yang disebut tata bahasa. Ada tata bahasa untuk bahasa Indonesia, tata bahasa untuk bahasa Inggris, tata bahasa untuk bahasa Jepang, dll.
Walaupun kegiatan komunikasi dapat dilakukan
dengan alat selain bahasa, pada prinsipnya manusia berkomunikasi menggunakan
bahasa. Dalam konteks ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa manusia, bukan
bahasa hewan. Dalam beberapa kasus, hewan dapat berkomunikasi satu sama lain
dengan menggunakan bahasa hewan. Yang dibahas di sini bukanlah bahasa hewan,
melainkan manusia, dan semua kata "bahasa" dalam buku ini mengacu
pada "bahasa manusia".
Bahasa, dalam artian Sistemikk Functional Linguistik
(SFL), adalah suatu bentuk semiotika sosial yang bekerja dalam konteks situasional
dan budaya, yang digunakan baik secara lisan maupun tulisan. Dalam pandangan
ini, bahasa merupakan konstruksi yang terbentuk melalui fungsi dan sistem
secara bersamaan. Dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, secara
sistemik, bahasa adalah wacana atau teks yang terdiri dari beberapa sistem
satuan kebahasaan yang bekerja secara hierarkis secara simultan dari sistem
yang lebih rendah: fonologi/grafologi, ke sistem yang lebih tinggi:
leksiko-gramatika atau leksiko-tata bahasa, struktur teks, dan semantik Wacana.
Setiap tingkatan tidak dapat dipisahkan karena setiap tingkatan merupakan
organisme yang memiliki peran yang saling terkait dalam mewujudkan makna sebuah
wacana secara holistik (Halliday, 1985; Halliday, 1994). Kedua, secara
fungsional, bahasa digunakan untuk mengungkapkan tujuan atau fungsi proses
sosial dalam konteks situasi dan konteks budaya (Halliday, 1994; Butt, Fahey,
Feez, Spinks, & Yalop, 2000).
Oleh karena itu, dalam semiotika sosial,
bahasa merupakan beberapa semio sosial yang melambangkan realitas pengalaman
dan logika, realitas sosial, dan realitas semiotik/simbolik. Dalam konsep ini,
bahasa adalah ranah ekspresi dan makna potensial. Sedangkan konteks situasional
dan konteks budaya merupakan sumber makna.
Dalam bentuknya, bahasa selalu berbentuk
teks. Adapun yang dimaksud dengan teks adalah satuan lingual yang mengungkapkan
makna secara kontekstual. Di sini, istilah "teks" dianggap sama
dengan "wacana", Satuan lingual dapat berupa kata, kelompok kata,
klausa, atau kumpulan paragraf. Jika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu, ia
akan menggunakan bentuk teks tertentu. Dengan teks itu, ia akan mencapai tujuan
yang diinginkan. Untuk mengakomodir dan menjadi sarana untuk menyampaikan
tujuannya, teks berupaya agar teks memuat bentuk-bentuk bahasa yang relevan.
Bentuk-bentuk itu tidak lain adalah sistem kebahasaan dalam teks. Jika tujuan
yang disampaikan berbeda, maka teks yang digunakan adalah tambahan, dan bentuk
bahasa yang dipilih juga beragam. Akhirnya, teks yang dibuat akan dapat
mewakili orang tersebut.
Mengenai prinsip bahwa bahasa harus selalu
dianggap sebagai teks, Fowler (1986) menegaskan bahwa untuk analisis teks,
analisis dapat dilakukan tidak hanya pada teks kebahasaan tetapi juga pada teks
lain (seperti teks sastra), baik teks faktual maupun teks fiksi. (lihat juga
Martin, 1985; Martin, 1992). Teks faktual adalah teks yang dibuat berdasarkan
peristiwa yang sebenarnya, sedangkan teks fiksi adalah teks fiktif, yaitu teks
yang dibuat dari dunia imajinasi.
FUNGSI
BAHASA
Bahasa
memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan
fungsi tekstual. Ketiga fungsi ini disebut fungsi meta-fungsional, dan ketiga
fungsi tersebut mewakili realitas yang berbeda. Di bawah fungsi ideasional,
bahasa digunakan untuk mengekspresikan realitas fisik-biologis dan interpretasi
serta representasi pengalaman. Di bawah fungsi interpersonal, bahasa
mengungkapkan realitas sosial dan berhubungan dengan interaksi antara
penutur/penulis dan pendengar/pembaca. Di bawah fungsi tekstual, bahasa
merepresentasikan realitas semiotik atau realitas simbol dan menghubungkannya
dengan cara teks diciptakan dalam konteks (Matthiessen, 1992/1995:6; Martin,
1992).
Ketiga fungsi tersebut tidak berdiri sendiri
secara mandiri. Ketiganya adalah satu unit meta-fungsi. Oleh karena itu, ujaran
linguistik, misalnya, klausa, menjalankan ketiga fungsi ini sekaligus. Dengan
kata lain, meskipun hanya ada satu klausa, satu klausa itu harus dilihat dari
kapasitasnya, yang memiliki tiga fungsi sekaligus. (Lihat uraian di Contoh
" You may go home now."
di bawah).
Dengan kata lain, bahasa adalah konstruksi
realitas fisik/biologis, realitas sosial, dan realitas simbol, yang
bersama-sama menjadi landasan di mana fungsi ideasional, fungsi interpersonal,
dan fungsi tekstual bekerja. Dalam realitas fisik/biologis, bahasa digunakan
untuk melaporkan isi atau maksud karena pengamatan yang dilakukan oleh
penutur/penulis. Apa yang diberitakan adalah apa saja yang ada di dalam dan di
sekitar pembicara/penulis. Dalam realitas sosial, bahasa digunakan untuk
melakukan peran yang dilakukan penutur/penulis terhadap pendengar/pembaca.
Peran ini terlihat pada kenyataan bahwa bahasa merupakan alat untuk menjalin
dan sekaligus menjalin hubungan sosial. Dalam realitas semiotik/simbolis,
bahasa mengungkapkan isi (hasil pengamatan tersebut) melalui bentuk lingual
(teks) sesuai dengan tujuan pengungkapannya. Dalam kerangka ini, ada relevansi
antara konten dan bentuk yang digunakan untuk mengekspresikannya.
(1-1) You may go home now.
Klausa
ini mengungkapkan tiga fungsi dalam kerangka tiga realitas secara bersamaan.
Dengan klausa ini dalam realitas fisik/biologis, penutur bermaksud menyampaikan
apa yang dialaminya dengan pendengar sebagai mitra tutur. Dalam realitas
sosial, klausa yang sama menunjukkan suatu hubungan sosial bahwa penutur
memiliki peran (yang lebih unggul dari mitra tutur), dan dengan peran itu,
penutur memberikan kelonggaran kepada lawan bicaranya untuk pulang.
Kualitas hubungan sosial antara penutur dan
lawan tutur dapat digambarkan bahwa mitra tutur dapat menggunakan kelonggaran
yang diberikan penutur dengan klausa ini. Apakah mitra tutur akan pulang atau
tidak tergantung pada keputusan mitra tutur itu sendiri, bukan pada paksaan
penutur. Kata “MAY” dalam klausa tersebut menunjukkan pilihan untuk pulang atau
tidak. Dalam realitas semiotik/simbolik, dengan klausa yang sama, penutur menggunakan
bentuk lingual dalam klausa yang memungkinkan isi yang diinginkan penutur
tersalurkan secara tepat kepada lawan bicaranya.
Jika
kata "MAY" diganti dengan "MUST", tidak ada relevansi
antara isi dan peran yang menunjukkan fleksibilitas atau pilihan. Istilah “MUST”
mengandung kesan paksaan atau tekanan. Oleh karena itu, analisis ketiga fungsi
tersebut niscaya akan berbeda jika klausanya berbunyi seperti yang disajikan
pada Contoh (1-2).
(1-2) You must go home now.
Bisa
jadi kenyataan fisik/biologis antara Contoh (1-1) dan (1-2) adalah sama,
sehingga isi yang terungkap dalam kedua klausa tersebut juga sama. Namun dari
segi realitas sosial, dalam Contoh (1-2), penutur menggunakan peran atasannya
untuk memaksa lawan bicaranya pulang; Berbeda dengan Contoh (1-1), peran
superior penutur digunakan untuk memberikan kelonggaran berupa pilihan, yaitu
pulang atau tidak pulang. Dari sisi realitas atau simbol semiotik, klausa yang
mengandung “harus” dipilih untuk menunjukkan relevansi antara isi yang
dimaksudkan dengan peran superior yang menghasilkan paksaan.
Setiap
klausa dipastikan menjalankan ketiga fungsi tersebut secara bersamaan. Dengan
demikian, analisis klausa yang hanya menyangkut satu atau dua dari tiga fungsi,
dengan mengabaikan dua atau satu fungsi lainnya, tidak lengkap. Bagaimana jika
Anda menganalisis teks yang mengandung banyak klausa? Analisis yang sama juga
harus dilakukan pada setiap klausa dalam teks. Kemudian, makna teks secara
keseluruhan diakumulasikan dari hasil analisis masing-masing klausa tersebut
secara individual.
Pada
tataran wacana, sebagaimana dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1985),
Halliday (1994), dan Thomson (2004), sebuah teks (baik lisan maupun tulisan).
Ekspresi bahasa mengandung tiga meta-fungsi, yaitu: ideasional (yang terdiri
dari pengalaman dan logika), interpersonal, dan tekstual. Ketiga metafungsi
tersebut menghasilkan makna yang disebut makna metafungsional, meliputi makna
ideasional (dengan makna sub-eksperiensial dan logis), makna interpersonal dan
makna tekstual.
Di bawah meta-fungsi ideasional, meta-fungsi
eksperiensial mengungkapkan makna pengalaman dari realitas pengalaman.
Sebaliknya, meta-fungsi logis mewujudkan makna logis (logico-semantik) karena
realitas logis yang menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut. Metafungsi
interpersonal sebuah teks mewujudkan makna interpersonal karena realitas sosial
yang dibangun dari hubungan antar partisipan di dalamnya. Makna interpersonal
terdiri dari makna interaksional (makna yang mengungkapkan interaksi pribadi)
dan makna transaksional (makna yang mengungkapkan informasi dan barang/jasa).
Terakhir, meta-fungsi tekstual mewujudkan
makna tekstual sebagai hasil penggabungan realisasi dua meta-fungsi: ideasional
dan interpersonal, ke dalam simbol-simbol, yang dalam bahasa disebut ekspresi
tekstual.
BAHASA DAN KONTEKS SOSIAL
Dalam
kaitan antara bahasa dan konteks sosial, secara teknis bahasa dibahas dalam dua
tataran sistem semiotika. Ada tataran sistem semiotik (bahasa), yang juga
merupakan wujud realisasi dari sistem semiotik lain yang lebih abstrak (konteks
sosial).
Hubungan
antara sistem yang satu dengan sistem yang lain dalam linguistik fungsional
sistemik merupakan hubungan yang bersifat mutualisme atau timbal balik.
Hubungan seperti itu menggambarkan bahwa, di satu sisi, bahasa terungkap
sebagai teks, yaitu bahasa dalam penggunaannya, atau bahasa yang tugasnya
menciptakan makna. Di sisi lain, bahasa dianggap sebagai pranata sosial, yaitu
bahasa sebagai bentuk praktik sosial, atau bahasa dalam kapasitasnya sebagai
sarana untuk mengaktualisasikan pengetahuan.
Gagasan “bahasa sebagai institusi sosial”
berasal dari Whitney, yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure (1988a:4).
Namun, berbeda dengan Whitney, bagi Saussure, bahasa tidak sama dengan lembaga
sosial lainnya, seperti lembaga pendidikan, politik, dan hukum. Bagi Whitney,
fungsi lembaga-lembaga tersebut – termasuk fungsi bahasa, lebih bersifat
kebetulan. Sebaliknya, bagi Saussure, meskipun fungsi lembaga lain bersifat
kebetulan, fungsi bahasa bersifat alamiah. Sebagai lembaga sosial, bahasa
merupakan sistem tanda yang secara alamiah digunakan untuk mengungkapkan
gagasan; di antara sistem tanda yang ada, bahasa merupakan sistem tanda yang
esensial (Saussure, 1988b: 10-14). Begitu pentingnya fungsi bahasa agar fungsi
ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
Konteks sosial dibagi menjadi konteks budaya
dan konteks situasional. Konteks budaya adalah sistem nilai dan norma yang
mewakili kepercayaan dalam budaya tertentu. Sistem nilai ini mencakup segala
sesuatu yang diyakini benar atau salah, baik atau buruk, termasuk ideologi,
yang menyangkut tatanan sosial yang umumnya berlaku dalam budaya. Sedangkan
norma adalah perwujudan dari suatu sistem nilai berupa aturan-aturan yang
mengontrol proses sosial, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh anggota
masyarakat dalam melakukan proses sosial. Jika diekspresikan dalam bentuk
gambar, maka wacana, bahasa menjalankan fungsi sosialnya.
Konteks situasi adalah lingkungan terdekat di
mana bahasa digunakan. Menurut Halliday (1985; 1994; Halliday & Hasan,
1985; Martin, 1992), konteks situasi mempengaruhi register (keragaman atau gaya
ekspresi linguistik), yang terdiri dari tiga aspek: bidang (field), tenor
(melibatkan ), dan modus (modus), yang bekerja secara simultan membentuk
konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna. Konfigurasi ini akan menentukan
bentuk ekspresi linguistik dan gaya bahasa atau maksud keseluruhan dari sebuah
teks, yang menunjukkan register yang digunakan untuk mewujudkan proses sosial
dalam teks. Register dalam tampilan SFL adalah variasi bahasa berdasarkan cara
bahasa tersebut digunakan. Lapangan mengacu pada suatu peristiwa dengan
lingkungannya, yaitu apa yang terjadi, kapan, di mana, dan bagaimana.
Keterlibatan adalah jenis partisipan yang terlibat dalam kejadian tersebut,
yang meliputi status sosial dan peran yang dilakukan oleh partisipan.
Terakhir, modus terdiri dari dua sub aspek,
yaitu media dan sarana atau saluran. Media ini berkaitan dengan apakah teks
disampaikan dengan gaya bahasa lisan atau tulisan. Saluran adalah cara yang
digunakan untuk mengekspresikan acara. Saluran mencakup apakah teks
diekspresikan dalam buku, surat kabar, audio, visual, atau audio visual.
Pemahaman konteks situasi ini sering
diperdebatkan apakah itu dinamis atau sinoptik (statis). Model dinamis
menyiratkan bahwa konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna terus berubah
selama wacana yang diciptakan berlangsung. Beberapa ahli sistemik menggunakan
model ini untuk menganalisis pidato lisan, seperti percakapan, seminar, atau
debat. Hal ini dimungkinkan karena dalam wacana seperti ini, medan,
keterlibatan, dan modus dapat berubah sepanjang wacana. Sementara itu, model
sinoptik atau statis memiliki konfigurasi kontekstual yang lebih mapan dalam
wacana yang tidak sedang berlangsung. Oleh karena itu, model ini sering digunakan
dalam menganalisis wacana tulis seperti tajuk rencana, berita, dan sebagainya,
yang memiliki konfigurasi kontekstual yang relatif lebih mapan daripada wacana
lisan.
References
Butt, D.,
Fahey, R., Feez, S., Spinks, S., Yalop, C. (2000). Using Functional
Grammar, 2nd Ed. Sydney: National Centre for English Language Teaching and
Research, Macquarie University.
Fowler,
R. (1986). Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Halliday, M.A.K.
(1985). Introduction to Functional Grammar. London: Edward
Arnold.
Halliday,
M.A.K. (1994). Introduction to Functional Grammar,
2nd Ed. London: Edward Arnold.
Halliday,
M.A.K., & Hasan, R. (1985). Language, Context, and Text: Aspects of
language in a social-semiotic perspective. Victoria: Deakin University
Press.
Halliday,
M.A.K. & Martin, J.R. (1993). “The Model”, Writing
Science: Literacy and Discursive Power. London: The Falmer
Press.
Martin, J.R.
(1985). Factual Writing: Exploring and Challenging Reality. Geelong,
Victoria: Deakin University Press.
Martin, J. R. (1992). English Text: System and Structure. Philadelphia/
Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Martin,
J. R. (1993). “Global Orientation” (Handout), Department of Linguistics,
Faculty of Arts, University of Sydney.
Matthiessen,
C.M.I.M. (1992). Lexico-gramatical Cartography: Englsih System (Draft). Sydney:
University of Sydney. [Matthiessen, C. (1995). Lexicogramatical Cartography:
Englsih System. Tokyo: International Language Sciences Publishers].
Richards,
J., Platt, J. & Weber, H. (1985). Longman Dictionary of Applied
Linguistics. Harlow: Longman.
Saussure,
F.D. (1988a). “The Object of Study”. In Lodge, D. (Eds.), Modern
Criticism and Theory. London: Longman.
Saussure,
F.D. (1988b). “Nature of the Linguistic Sign”. In Lodge, D. (Eds.), Modern
Criticism and Theory. London: Longman.
Thompson,
G. (2004). Introducing Functional Grammar. London: Arnold.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar