Sabtu, 02 Oktober 2021

Bahasa, Fungsi Bahasa, dan Konteks Sosial

Prof.Dr.Tri Wiratno, M.A.

Prof Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D.

 

 DEFINISI BAHASA

Bahasa adalah alat komunikasi yang tersusun dalam bentuk satuan-satuan lingual, seperti kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat yang diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan. Ada banyak definisi bahasa, dan definisi ini hanyalah salah satunya. Anda dapat membandingkan definisi ini dengan definisi berikut: bahasa adalah sistem komunikasi manusia yang diungkapkan melalui susunan suara atau ekspresi tertulis yang terstruktur untuk membentuk unit yang lebih besar, seperti morfem, kata, dan kalimat, yang dijabarkan sebagai: sistem komunikasi manusia yang memanfaatkan susunan terstruktur suara (atau representasi tertulis) untuk membentuk unit yang lebih besar, misalnya morfem, kata, kalimat" (Richards, Platt & Weber, 1985: 153).

Di dunia ini, ada ribuan bahasa, dan setiap bahasa memiliki sistemnya sendiri yang disebut tata bahasa. Ada tata bahasa untuk bahasa Indonesia, tata bahasa untuk bahasa Inggris, tata bahasa untuk bahasa Jepang, dll.

Walaupun kegiatan komunikasi dapat dilakukan dengan alat selain bahasa, pada prinsipnya manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Dalam konteks ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa manusia, bukan bahasa hewan. Dalam beberapa kasus, hewan dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa hewan. Yang dibahas di sini bukanlah bahasa hewan, melainkan manusia, dan semua kata "bahasa" dalam buku ini mengacu pada "bahasa manusia".



 Bahasa, dalam artian Sistemikk Functional Linguistik (SFL), adalah suatu bentuk semiotika sosial yang bekerja dalam konteks situasional dan budaya, yang digunakan baik secara lisan maupun tulisan. Dalam pandangan ini, bahasa merupakan konstruksi yang terbentuk melalui fungsi dan sistem secara bersamaan. Dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, secara sistemik, bahasa adalah wacana atau teks yang terdiri dari beberapa sistem satuan kebahasaan yang bekerja secara hierarkis secara simultan dari sistem yang lebih rendah: fonologi/grafologi, ke sistem yang lebih tinggi: leksiko-gramatika atau leksiko-tata bahasa, struktur teks, dan semantik Wacana. Setiap tingkatan tidak dapat dipisahkan karena setiap tingkatan merupakan organisme yang memiliki peran yang saling terkait dalam mewujudkan makna sebuah wacana secara holistik (Halliday, 1985; Halliday, 1994). Kedua, secara fungsional, bahasa digunakan untuk mengungkapkan tujuan atau fungsi proses sosial dalam konteks situasi dan konteks budaya (Halliday, 1994; Butt, Fahey, Feez, Spinks, & Yalop, 2000).

Oleh karena itu, dalam semiotika sosial, bahasa merupakan beberapa semio sosial yang melambangkan realitas pengalaman dan logika, realitas sosial, dan realitas semiotik/simbolik. Dalam konsep ini, bahasa adalah ranah ekspresi dan makna potensial. Sedangkan konteks situasional dan konteks budaya merupakan sumber makna.

Dalam bentuknya, bahasa selalu berbentuk teks. Adapun yang dimaksud dengan teks adalah satuan lingual yang mengungkapkan makna secara kontekstual. Di sini, istilah "teks" dianggap sama dengan "wacana", Satuan lingual dapat berupa kata, kelompok kata, klausa, atau kumpulan paragraf. Jika seseorang ingin mengungkapkan sesuatu, ia akan menggunakan bentuk teks tertentu. Dengan teks itu, ia akan mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk mengakomodir dan menjadi sarana untuk menyampaikan tujuannya, teks berupaya agar teks memuat bentuk-bentuk bahasa yang relevan. Bentuk-bentuk itu tidak lain adalah sistem kebahasaan dalam teks. Jika tujuan yang disampaikan berbeda, maka teks yang digunakan adalah tambahan, dan bentuk bahasa yang dipilih juga beragam. Akhirnya, teks yang dibuat akan dapat mewakili orang tersebut.

Mengenai prinsip bahwa bahasa harus selalu dianggap sebagai teks, Fowler (1986) menegaskan bahwa untuk analisis teks, analisis dapat dilakukan tidak hanya pada teks kebahasaan tetapi juga pada teks lain (seperti teks sastra), baik teks faktual maupun teks fiksi. (lihat juga Martin, 1985; Martin, 1992). Teks faktual adalah teks yang dibuat berdasarkan peristiwa yang sebenarnya, sedangkan teks fiksi adalah teks fiktif, yaitu teks yang dibuat dari dunia imajinasi.

FUNGSI BAHASA

 Bahasa memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Ketiga fungsi ini disebut fungsi meta-fungsional, dan ketiga fungsi tersebut mewakili realitas yang berbeda. Di bawah fungsi ideasional, bahasa digunakan untuk mengekspresikan realitas fisik-biologis dan interpretasi serta representasi pengalaman. Di bawah fungsi interpersonal, bahasa mengungkapkan realitas sosial dan berhubungan dengan interaksi antara penutur/penulis dan pendengar/pembaca. Di bawah fungsi tekstual, bahasa merepresentasikan realitas semiotik atau realitas simbol dan menghubungkannya dengan cara teks diciptakan dalam konteks (Matthiessen, 1992/1995:6; Martin, 1992).

Ketiga fungsi tersebut tidak berdiri sendiri secara mandiri. Ketiganya adalah satu unit meta-fungsi. Oleh karena itu, ujaran linguistik, misalnya, klausa, menjalankan ketiga fungsi ini sekaligus. Dengan kata lain, meskipun hanya ada satu klausa, satu klausa itu harus dilihat dari kapasitasnya, yang memiliki tiga fungsi sekaligus. (Lihat uraian di Contoh " You may go home now." di bawah).

Dengan kata lain, bahasa adalah konstruksi realitas fisik/biologis, realitas sosial, dan realitas simbol, yang bersama-sama menjadi landasan di mana fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual bekerja. Dalam realitas fisik/biologis, bahasa digunakan untuk melaporkan isi atau maksud karena pengamatan yang dilakukan oleh penutur/penulis. Apa yang diberitakan adalah apa saja yang ada di dalam dan di sekitar pembicara/penulis. Dalam realitas sosial, bahasa digunakan untuk melakukan peran yang dilakukan penutur/penulis terhadap pendengar/pembaca. Peran ini terlihat pada kenyataan bahwa bahasa merupakan alat untuk menjalin dan sekaligus menjalin hubungan sosial. Dalam realitas semiotik/simbolis, bahasa mengungkapkan isi (hasil pengamatan tersebut) melalui bentuk lingual (teks) sesuai dengan tujuan pengungkapannya. Dalam kerangka ini, ada relevansi antara konten dan bentuk yang digunakan untuk mengekspresikannya.

 Sebagai ilustrasi, Contoh (1-1) dan (1-2) dapat menunjukkan bahwa dua klausa yang hanya dibedakan dengan penggunaan "MAY" dan "MUST" memiliki perbedaan makna yang sangat mencolok.

  (1-1) You may go home now.

 Klausa ini mengungkapkan tiga fungsi dalam kerangka tiga realitas secara bersamaan. Dengan klausa ini dalam realitas fisik/biologis, penutur bermaksud menyampaikan apa yang dialaminya dengan pendengar sebagai mitra tutur. Dalam realitas sosial, klausa yang sama menunjukkan suatu hubungan sosial bahwa penutur memiliki peran (yang lebih unggul dari mitra tutur), dan dengan peran itu, penutur memberikan kelonggaran kepada lawan bicaranya untuk pulang.

 Kualitas hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur dapat digambarkan bahwa mitra tutur dapat menggunakan kelonggaran yang diberikan penutur dengan klausa ini. Apakah mitra tutur akan pulang atau tidak tergantung pada keputusan mitra tutur itu sendiri, bukan pada paksaan penutur. Kata “MAY” dalam klausa tersebut menunjukkan pilihan untuk pulang atau tidak. Dalam realitas semiotik/simbolik, dengan klausa yang sama, penutur menggunakan bentuk lingual dalam klausa yang memungkinkan isi yang diinginkan penutur tersalurkan secara tepat kepada lawan bicaranya.

 Jika kata "MAY" diganti dengan "MUST", tidak ada relevansi antara isi dan peran yang menunjukkan fleksibilitas atau pilihan. Istilah “MUST” mengandung kesan paksaan atau tekanan. Oleh karena itu, analisis ketiga fungsi tersebut niscaya akan berbeda jika klausanya berbunyi seperti yang disajikan pada Contoh (1-2).

 (1-2) You must go home now.

 Bisa jadi kenyataan fisik/biologis antara Contoh (1-1) dan (1-2) adalah sama, sehingga isi yang terungkap dalam kedua klausa tersebut juga sama. Namun dari segi realitas sosial, dalam Contoh (1-2), penutur menggunakan peran atasannya untuk memaksa lawan bicaranya pulang; Berbeda dengan Contoh (1-1), peran superior penutur digunakan untuk memberikan kelonggaran berupa pilihan, yaitu pulang atau tidak pulang. Dari sisi realitas atau simbol semiotik, klausa yang mengandung “harus” dipilih untuk menunjukkan relevansi antara isi yang dimaksudkan dengan peran superior yang menghasilkan paksaan.

 Setiap klausa dipastikan menjalankan ketiga fungsi tersebut secara bersamaan. Dengan demikian, analisis klausa yang hanya menyangkut satu atau dua dari tiga fungsi, dengan mengabaikan dua atau satu fungsi lainnya, tidak lengkap. Bagaimana jika Anda menganalisis teks yang mengandung banyak klausa? Analisis yang sama juga harus dilakukan pada setiap klausa dalam teks. Kemudian, makna teks secara keseluruhan diakumulasikan dari hasil analisis masing-masing klausa tersebut secara individual.

 Pada tataran wacana, sebagaimana dikemukakan oleh Halliday dan Hasan (1985), Halliday (1994), dan Thomson (2004), sebuah teks (baik lisan maupun tulisan). Ekspresi bahasa mengandung tiga meta-fungsi, yaitu: ideasional (yang terdiri dari pengalaman dan logika), interpersonal, dan tekstual. Ketiga metafungsi tersebut menghasilkan makna yang disebut makna metafungsional, meliputi makna ideasional (dengan makna sub-eksperiensial dan logis), makna interpersonal dan makna tekstual.

Di bawah meta-fungsi ideasional, meta-fungsi eksperiensial mengungkapkan makna pengalaman dari realitas pengalaman. Sebaliknya, meta-fungsi logis mewujudkan makna logis (logico-semantik) karena realitas logis yang menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut. Metafungsi interpersonal sebuah teks mewujudkan makna interpersonal karena realitas sosial yang dibangun dari hubungan antar partisipan di dalamnya. Makna interpersonal terdiri dari makna interaksional (makna yang mengungkapkan interaksi pribadi) dan makna transaksional (makna yang mengungkapkan informasi dan barang/jasa).

Terakhir, meta-fungsi tekstual mewujudkan makna tekstual sebagai hasil penggabungan realisasi dua meta-fungsi: ideasional dan interpersonal, ke dalam simbol-simbol, yang dalam bahasa disebut ekspresi tekstual.

  Ketiga metafungsi tersebut bekerja secara simultan untuk mewujudkan tugas yang dilakukan oleh wacana dalam konteks penggunaan atau situasi. Yang terwujud tak lain adalah ketiga makna metafungsional tersebut.

BAHASA DAN KONTEKS SOSIAL

 Dalam kaitan antara bahasa dan konteks sosial, secara teknis bahasa dibahas dalam dua tataran sistem semiotika. Ada tataran sistem semiotik (bahasa), yang juga merupakan wujud realisasi dari sistem semiotik lain yang lebih abstrak (konteks sosial).

  Hubungan antara sistem yang satu dengan sistem yang lain dalam linguistik fungsional sistemik merupakan hubungan yang bersifat mutualisme atau timbal balik. Hubungan seperti itu menggambarkan bahwa, di satu sisi, bahasa terungkap sebagai teks, yaitu bahasa dalam penggunaannya, atau bahasa yang tugasnya menciptakan makna. Di sisi lain, bahasa dianggap sebagai pranata sosial, yaitu bahasa sebagai bentuk praktik sosial, atau bahasa dalam kapasitasnya sebagai sarana untuk mengaktualisasikan pengetahuan.

 Gagasan “bahasa sebagai institusi sosial” berasal dari Whitney, yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure (1988a:4). Namun, berbeda dengan Whitney, bagi Saussure, bahasa tidak sama dengan lembaga sosial lainnya, seperti lembaga pendidikan, politik, dan hukum. Bagi Whitney, fungsi lembaga-lembaga tersebut – termasuk fungsi bahasa, lebih bersifat kebetulan. Sebaliknya, bagi Saussure, meskipun fungsi lembaga lain bersifat kebetulan, fungsi bahasa bersifat alamiah. Sebagai lembaga sosial, bahasa merupakan sistem tanda yang secara alamiah digunakan untuk mengungkapkan gagasan; di antara sistem tanda yang ada, bahasa merupakan sistem tanda yang esensial (Saussure, 1988b: 10-14). Begitu pentingnya fungsi bahasa agar fungsi ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Konteks sosial dibagi menjadi konteks budaya dan konteks situasional. Konteks budaya adalah sistem nilai dan norma yang mewakili kepercayaan dalam budaya tertentu. Sistem nilai ini mencakup segala sesuatu yang diyakini benar atau salah, baik atau buruk, termasuk ideologi, yang menyangkut tatanan sosial yang umumnya berlaku dalam budaya. Sedangkan norma adalah perwujudan dari suatu sistem nilai berupa aturan-aturan yang mengontrol proses sosial, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh anggota masyarakat dalam melakukan proses sosial. Jika diekspresikan dalam bentuk gambar, maka wacana, bahasa menjalankan fungsi sosialnya.

Konteks situasi adalah lingkungan terdekat di mana bahasa digunakan. Menurut Halliday (1985; 1994; Halliday & Hasan, 1985; Martin, 1992), konteks situasi mempengaruhi register (keragaman atau gaya ekspresi linguistik), yang terdiri dari tiga aspek: bidang (field), tenor (melibatkan ), dan modus (modus), yang bekerja secara simultan membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna. Konfigurasi ini akan menentukan bentuk ekspresi linguistik dan gaya bahasa atau maksud keseluruhan dari sebuah teks, yang menunjukkan register yang digunakan untuk mewujudkan proses sosial dalam teks. Register dalam tampilan SFL adalah variasi bahasa berdasarkan cara bahasa tersebut digunakan. Lapangan mengacu pada suatu peristiwa dengan lingkungannya, yaitu apa yang terjadi, kapan, di mana, dan bagaimana. Keterlibatan adalah jenis partisipan yang terlibat dalam kejadian tersebut, yang meliputi status sosial dan peran yang dilakukan oleh partisipan.

Terakhir, modus terdiri dari dua sub aspek, yaitu media dan sarana atau saluran. Media ini berkaitan dengan apakah teks disampaikan dengan gaya bahasa lisan atau tulisan. Saluran adalah cara yang digunakan untuk mengekspresikan acara. Saluran mencakup apakah teks diekspresikan dalam buku, surat kabar, audio, visual, atau audio visual.

Pemahaman konteks situasi ini sering diperdebatkan apakah itu dinamis atau sinoptik (statis). Model dinamis menyiratkan bahwa konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna terus berubah selama wacana yang diciptakan berlangsung. Beberapa ahli sistemik menggunakan model ini untuk menganalisis pidato lisan, seperti percakapan, seminar, atau debat. Hal ini dimungkinkan karena dalam wacana seperti ini, medan, keterlibatan, dan modus dapat berubah sepanjang wacana. Sementara itu, model sinoptik atau statis memiliki konfigurasi kontekstual yang lebih mapan dalam wacana yang tidak sedang berlangsung. Oleh karena itu, model ini sering digunakan dalam menganalisis wacana tulis seperti tajuk rencana, berita, dan sebagainya, yang memiliki konfigurasi kontekstual yang relatif lebih mapan daripada wacana lisan.

References

Butt, D., Fahey, R., Feez, S., Spinks, S., Yalop, C. (2000). Using Functional Grammar, 2nd Ed. Sydney: National Centre for English Language Teaching and Research, Macquarie University.

 Fowler, R. (1986). Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.

Halliday, M.A.K. (1985). Introduction to Functional Grammar. London:  Edward Arnold.

 Halliday, M.A.K. (1994). Introduction to Functional Grammar, 2nd  Ed.  London: Edward Arnold.

Halliday, M.A.K., & Hasan, R. (1985). Language, Context, and Text: Aspects of language in a social-semiotic perspective. Victoria: Deakin University Press.

Halliday, M.A.K. & Martin, J.R. (1993). “The Model”, Writing Science:  Literacy and Discursive Power. London: The Falmer Press.

Martin, J.R. (1985). Factual Writing: Exploring and Challenging Reality.  Geelong, Victoria: Deakin University Press.

Martin,  J.  R.  (1992).  English  Text:  System  and  Structure.  Philadelphia/ Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

 Martin, J. R. (1993). “Global Orientation” (Handout), Department of Linguistics, Faculty of Arts, University of Sydney.

 Matthiessen, C.M.I.M. (1992). Lexico-gramatical Cartography: Englsih System (Draft). Sydney: University of Sydney. [Matthiessen, C. (1995). Lexicogramatical Cartography: Englsih System. Tokyo: International Language Sciences Publishers].

 Richards, J., Platt, J. & Weber, H. (1985). Longman Dictionary of Applied Linguistics. Harlow: Longman.

 Saussure, F.D. (1988a). “The Object of Study”. In Lodge, D. (Eds.), Modern Criticism and Theory. London: Longman.

 Saussure, F.D. (1988b). “Nature of the Linguistic Sign”. In Lodge, D. (Eds.), Modern Criticism and Theory. London: Longman.

 Thompson, G. (2004). Introducing Functional Grammar. London: Arnold.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar